Kamis, 02 April 2015

SISTEM RISET TEKNOLOGI INDUSTRI DAN MEKANISASI PERTANIAN UNTUK PERCEPATAN PEMBANGUNAN NASIONAL

SISTEM RISET TEKNOLOGI INDUSTRI DAN MEKANISASI PERTANIAN UNTUK PERCEPATAN PEMBANGUNAN NASIONAL1

PENDAHULUAN
Krisis nasional antara lain merupakan dampak dari pilihan kebijakan industrialisasi yang dilaksanakan di masa orde baru, yaitu industrialisasi yang mengembangkan industri berspektrum luas, yang lebih menekankan pengembangan industri berbasis impor. Akibatnya industri kurang menjadi perhatian, kurang berkembang, daya saing lemah, dan akhirnya tidak mampu mendayagunakan teknologi secara baik untuk meningkatkan daya saingnya.
Secara lebih serba cakup (comprehensive), paradigma nasional seperti Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara (wasantara), Ketahanan Nasional (tannas), Propenas maupun Perundang-undangan yang ada, seperti Inpres No. 3/2001 dan UU No. 18/2002 dan Inpres No. 4/2003 tetap harus digunakan dalam setiap kebijakan nasional, termasuk dalam mendayagunakan teknologi.
Kondisi saat ini banyak hasil litbang yang kurang sesuai dengan kebutuhan industri. Oleh karena itu pendayagunaannya dinilai masih lemah. Permasalahannya adalah : pertama, kurang terintegrasinya sumber daya litbang nasional dalam pendayagunaan teknologi, kedua, lemahnya  posisi   lembaga  litbang nasional dalam pengembangan industri, ketiga, kurangnya peranan masyarakat iptek dalam kegiatan litbang nasional, dan keempat, kurangnya keterlibatan kalangan industri pada kegiatan litbang nasional.
Perkembangan lingkungan strategis seperti persaingan global pada era perdagangan bebas adalah ditandai adanya ketentuan-ketentuan dalam Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO) maupu ketentuan perdagangan bebas regional lainnya. Kondisi kawasan regional yang secara umum menghasilkan produk industri yang sama makin menuntut peningkatan daya saing industri nasional. Perkembangan poleksosbudhankam
________________________________________________________________
1)   Disitir dari Taskap penulis pada KRA Lemhannas XXXVI tahun 2003


secara nasional sebenarnya cukup kondusif untuk dapat mendorong berkembangnya kegiatan litbang sehingga dapat dihasilkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Kendalanya antara lain adanya berbagai isu HAM, perburuhan dan sejenisnya yang seringkali menghambat berkembangnya industri, kualitas peneliti yang masih lemah, lembaga litbang yang seolah masih kurang terintegrasi, kurangnya keikutsertaan masyarakat iptek  serta masyarakat industri dalam litbang secara nasional. Peluangnya sebenarnya cukup terbuka karena ada persaingan global yang memberikan peluang untuk terus  mengembangkan teknologi, selain itu juga cukup tersedia banyak lembaga litbang, terdapat organisasi profesi tempat berkumpulnya para ahli, adanya apresiasi terhadap HaKI, serta adanya dukungan politis dari wakil rakyat dan pemerintah. Peluang dan kendala tersebut dimanfaatkan untuk mencapai kondisi yang diharapkan.

KONDISI DAN STRATEGI YANG DIPERLUKAN
Kondisi yang diharapkan adalah kondisi di mana terdapat teknologi yang dihasilkan lembaga litbang sesuai dengan kebutuhan kalangan industri, sehingga teknologi tersebut dapat didayagunakan untuk meningkatkan daya saing agrondustri. Untuk itu  perlu suatu kebijakan yang diarahkan agar pendayagunaan tersebut dapat ditingkatkan melalui regulasi untuk mengintegrasikan semua sumber daya litbang agar lebih mampu melakukan litbang sehingga dihasilkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan industri, reposisi lembaga-lembaga litbang agar dapat menjadi mitra atau partner sekaligus bersinerji dengan kalangan industri bersama-sama masyarakat iptek dan industri serta memberikan insentif kepada kalangan industri agar terlibat secara langsung ke dalam kegiatan litbang nasional. Peneliti dan tenaga di kalangan industri juga perlu ditingkatkan kemampuannya melalui pendidikan maupun latihan.
Berdasarkan uraian mengenai kondisi dan perkembangan iptek saat ini serta kecenderungan pengaruh lingkungan strategis serta peluang dan kendala yang menyertainya maka ditetapkan KEBIJAKAN sebagai berikut :
Mendayagunakan teknologi atas dasar integrasi kompetensi seluruh sumberdaya litbang di dalam negeri, reposisi lembaga litbang, fasilitasi fiskal terhadap masyarakat iptek dan pemberian insentif kepada kalangan industri, agar secara nasional mampu dihasilkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan industri, guna meningkatkan daya saing industri dalam rangka mengatasi krisis nasional.
Untuk kelancaran pelaksanaannya, maka diperlukan strategi-strategi dan upaya-upaya yang menindaklanjuti kebijakan tersebut.
STRATEGI tersebut adalah :
Pertama, Pemerintah mengintegrasikan seluruh kompetensi sumberdaya nasional penelitian; Kedua, memposisikan kembali atau reposisi seluruh kemampuan lembaga penelitian dan pengembangan; Ketiga, memfasilitasi  berkembangnya  masyarakat iptek; Keempat, memberi insentif kepada kalangan industri agar meningkatkan keterlibatannya dalam menghasilkan inovasi teknologi.
Upaya untuk strategi pertama : Kementerian Riset dan Teknologi bersama Departemen terkait lainnya menginventarisasi, mengintegrasikan, mengembangkan kemampuan seluruh sumber daya litbang nasional serta menerapkan kaidah-kaidah HaKI dalam kegiatan litbang, baik di pusat dan daerah.
Upaya untuk strategi kedua : Kementerian Riset dan Teknologi bersama Departemen terkait membenahi seluruh program litbang, meningkatkan pelayanan kalibrasi, metrologi, standarisasi, pengujian, dan menetapkan pola dan route alih teknologi dunia serta meningkatkan kegiatan penyuluhan pendayagunaan teknologi
Upaya untuk strategi ketiga : Departemen Perindustrian dan Departemnen lainnya, Kementerian Ristek, Badan Standarisasi Nasional dan Departemen Kehakiman dan Perundang-undangan sesuai fungsinya menginventarisasi seluruh organisasi profesi dan asosiasi industri, serta memfasilitasi terjadinya konsolidasi di antara mereka, memfasilitasi keikutsertaannya dalam kegiatan riset nasional, akreditasi dan standarisasi kompetensi mereka, serta memfasilitasi adanya penghargaan ilmiah dan peran mereka dalam pendayagunaan teknologi 
Upaya untuk strategi keempat : Pemerintah bersama Komisi-Komisi terkait di DPR membenahi peraturan tentang insentif bagi industri yang mengembangkan teknologi dan bersama Departemen Kehakiman dan Perundang-undangan menerapkan kaidah-kaidah HaKI serta standar teknis nasional maupun internasinal bagi kalangan industri
PENUTUP
Berdasarkan uraian dari hasil pengkajian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.    Pendayagunaan teknologi kurang berkembang sebagai akibat dari kelemahan kebijakan masa lalu yang terlalu mengandalkan pengembangan teknologi dari luar dengan dasar bahan impor terutama untuk industri besar
2.    Teknologi yang dihasilkan oleh lembaga litbang selama ini kurang sesuai dengan kebutuhan industri nasional pada umumnya, sehingga pendayagunaannya kurang optimal
3.    Keberhasilan pendayagunaan teknologi untuk mengatasi krisis nasional sangat ditentukan oleh kebijakan yang mampu mensinergikan  kinerja lembaga litbang dengan kalangan industri dengan strategi yang mengarah kepada integrasi dan reposisi sumberdaya litbang di pusat maupun di daerah, fasilitasi masyarakat iptek, insentif bagi kalangan industri
4.    Institusi dan organisasi yang terkait dengan strategi dan pelaksanaan upaya-upayanya adalah seperti pada Tabel Lampiran 1, yang seluruhnya memerlukan koordinasi oleh Menko Perekonomian dan Industri, agar fasilitasinya tersinerji secara baik. 
Secara rinci saran-sarannya adalah :
Kebijakan tersebut perlu segera dicanangkan di tingkat Kemenko dan ditindaklanjuti oleh Kementerian termasuk Kementerian Riset dan Teknologi sebagai lembaga yang mengemban tugas dan fungsi koordinasi seluruh kegiatan litbang teknologi, sesuai Inpres No. 4 tahun 2003 dan Inpres No. 3 tahun 2001. Strategi tersebut perlu dijadikan landasan bagi program instansi terkait seperti dalam Tabel Lampiran 1.


  Tabel Lampiran 1. Matrik Keterkaitan Peranan Institusi dan Strategi Pendayagunaan Teknologi Dalam Rangka Mengatasi Krisis Nasional
NO
KEMENTERIAN/
DEPARTEMEN
STRATEGI 1
Integrasi Litbang
STRATEGI 2
Reposisi Litbang
STRATEGI 3
Fasilitasi Org Profesi
STRATEGI 4
Fasilitasi Industri
1
Menko EKOIN
**
**
*
***
2
Riset dan Teknologi
**
***
***
**
3

Penertiban Aparatur Negara
***
*



4

Industri Perdagangn
**
**
**
***
5

Pertanian dan lainnya
**
**
**
**
6

Pendidikn. Nasional
*
**
**
*
7
Dalam Negeri
**
**


8
Kehakiman
*


**
9

Litbang Depar./Non Departemen Terkait
**

**
**
**
10

Badan Standarisasi Nasional

**

**
11

Komite Akreditasi Nasional



**
12

Organisasi Profesi/ Asosiasi Agroindus


***
***

Keterangan : Jumlah bintang menunjukkan bobot peranan institusi dalam melaksanakan strategi untuk pendayagunaan teknologi











Rabu, 04 Maret 2015

Pertanian Bioindustri : Pokok-pokom Pikiran



­­­POKOK-POPOK PIKIRAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BIOINDUSTRI
Bambang Prastowo

PENDAHULUAN
            Pembangunan pertanian Indonesia memiliki karakter pertanian tropika yang secara alami merupakan kawasan dengan efektivitas dan produktivitas tertinggi di dalam pemanenan dan transformasi energi matahari. Proses budidaya dan bioengineering nabati, hewani dan mikroorganisme dalam menghasilkan berbagai bentuk biomasa pangan dan bioenergi siap pakai untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan landasan bagi berkembangnya sektor-sektor ekonomi lainnya secara berkelanjutan. Pencapaian keunggulan pertanian tropika tersebut dilandaskan pada keunggulan inovasi teknologi dan kelembagaaan dalam mengelola limpahan sumberdaya. Berkaitan dengan hal tersebut pertanian bioindustri diyakini merupakan alternatif visi pembangunan ekonomi nasional ke depan.
            Pertanian bioindustri pada dasarnya merupakan sistem pertanian yang mengelola dan/atau memanfaatan secara optimal seluruh sumberdaya hayati termasuk biomasa dan/atau limbah organik pertanian, bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem secara harmonis. Oleh karenanya, kata kunci dalam pertanian bioindustri meliputi seluruh sumber daya hayati, biomasa dan limbah pertanian, penerapan ilmu pengetahuan dan tekonologi & bio proses termasuk rekayasa genetik. Tidak kalah penting dalam penerapannya ke depan adalah tetap dihasilkannya produk pangan sehat bernilai tinggi sebagai kebutuhan dasar manusia serta produk bio yang sehat bernilai tinggi lainnya.
POKOK-POKOK PIKIRAN DALAM PERTANIAN BIOINDUSTRI
            Terdapat hal-hal yang dapat dijadikan acuan atau pokok-pokok pikiran dalam memahami pertanian bioindustri yang ideal. Pokok-pokok pikiran tersebut adalah :
1.    Pertanian dikembangkan dengan menghasilkan sesedikit mungkin limbah tak bermanfaat
  1. Pertanian dikembangkan dengan menggunakan sesedikit mungkin input produksi dari luar
  2. Pertanian dikembangkan dengan menggunakan sesedikit mungkin energi dari luar
  3. Pertanian dikembangkan seoptimal mungkin agar mampu berperan seain menghasikan produk pangan juga sebagai pengolah biomasa dan limbahnya sendiri menjadi bio-produk baru bernilai tinggi termasuk bioenergi
  4. Pertanian dikembangkan mengikuti kaidah-kaidah pertanian terpadu ramah lingkungan
  5. Pertanian pada akhirnya dikembangkan sebagai kilang biologi (biorefinery) berbasis iptek maju penghasil pangan sehat dan  non pangan bernilai tinggi
Pertanian bioindustri sebenarnya juga berlandaskan kepada pengertian siklus pertanian sebagai penjaga lingkungan alam yang selama ini sudah dipahami masyarakat (Gambar 1). Oleh dalam mengembangkan pertanian hendaknya selalu mengacu kepada siklus tersebut demi menjaga klestarian lingkungan alam.


           Gambar 1. Siklus Pertanian Sebagai Penjaga Lingkungan Alam

PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN BIOINDUSTRI
            Dalam pengembangan kawasan pertanian bioindustri, perlu dipertimbangankan adanya korelasi antara komponen teknologi dari hasil penelitian dengan hasil analisis kebutuhan kawasan serta sinergi antara keduanya (sebagai contoh lihat Gambar 2). Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang seyogyanya dilakukan sebelum menentukan pengembangan kawasan tersebut. Hal-hal tersebut antara lain :
1.    Adanya hasil penelitian komponen teknologi  yang menjadi subsistem bagi pertanian bioindustri untuk kawasan. Hal ini biasanya dapat dilakukan oleh Balai-balai Penelitian ataua lembaga sejenis termasuk Perguruan Tinggi.
2.    Harus diketahui hubungan/relasi antar subsistem. Hal ini biasanya dapat dilakukan oleh Balai-balai Penelitian bersama Balai-balai Pengkajian Teknologi Pertanian
3.    Sebagai contoh kajian dan penentuan kawasan untuk pengembangan kawasan pertanian bioindustri berdasarkan atau mengacu Gambar 2 dan disesuaikan dengan kebutuhan kawasan

                        Gambar 2. Contoh Skema Relasi Antar Komponen dalam
                                          Pertanian Bioindustri Kemiri Sunan (causal loops) 

Oleh karena itu, untuk mengembangkan pertanian bioindustri perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1  1. Penerapan pertanian bioindustri memerlukan kesiapan adanya hasil penelitian komponen    teknologi unggul dan teruji yang dapat diterapkan secara sinergi di lapangan
2  2. Penerapan sistem pertanian bioindustri harus didasarkan pada kaidah ilmiah yang secara    kuantitatif dapat dijelaskan manfaatnya bagi masyarakat dan kelestarian alam untuk saat      ini dan masa yang akan datang
3  3. Aplikasi dilakukan secara bertahap seiring dengan perkembangan iptek serta sesuai
        dengan kondisi geografi sosial ekonomi budaya masyarakat



Selasa, 03 Maret 2015

BAHAN BAKU BIOAVTUR DARI KELAPA SAWIT UNTUK PESAWAT UDARA DI INDONESIA CUKUP MELIMPAH


BAHAN BAKU BIOAVTUR DARI KELAPA SAWIT UNTUK PESAWAT UDARA DI INDONESIA CUKUP MELIMPAH

Bambang Prastowo
Hasil analisis menunjukkan bahwa yang paling optimal sebagai bahan bakar nabati untuk pesawat udara (bioavtur) adalah kernel kelapa sawit dan daging buah kelapa. Potensi lahan untuk kelapa sawit cukup luas yaitu 44,094 juta ha, namun yang sangat sesuai sebenarnya hanya sekitar 18 juta ha, termasuk di dalamnya adalah hutan konversi yang bisa dimanfaatkan yaitu sekitar 13,7 juta ha. Secara sederhana dapat diperhitungkan bahwa perluasan areal masih berpotensi untuk ditingkatkan sampai sekitar dua kali luasan saat ini termasuk produksi kelapa sawitnya.  Ke depan pengembangan bahan bakar nabati untuk pesawat udara dari kelapa sawit tinggal memperhitungkan seberapa porsi produksi yang dikehendaki akan dialokasikan untuk bahan baku bioavtur tersebut.
Berdasarkan komunikasi langsung pelaku bisnis pabrik kelapa sawit, selang produksi produksi CPO cukup lebar, yaitu sekitar 4 – 22 ton/ha/th, sedangkan produksi CPO umumnya sekitar 23 % dari produksi TBS dan kernel atau inti sawit adalah sekitar 5,5%. Berdasarkan data resmi Delegasi Indonesia pada Bilateral Meeting Indonesia Malaysia 2013, produksi CPO Indonesia saat ini sekitar 27,5 juta ton pada luasan 9,074 juta ha, jadi rata-rata hasil CPO adalah 3,03 ton/ha. Jika diperhitungkan hasil TBS Indonesia adalah sekitar 13,2 ton/ha dan kernel hasilnya hanya sekitar 0,73 ton/ha atau minyak kernelnya sekitar 80 % dari berat kernelnya yaitu sekitar 0,6 ton/ha.
Produksi minyak dari kernel kelapa sawit beberapa tahun terakhir ini adalah rata-rata sekitar 20% dari produksi CPO. Produksi CPO saat ini adalah sekitar 27,5 juta ton per tahun, sehingga produksi minyak kernel adalah sekitar 5,5 juta ton per tahun dari luas lahan sawit 9,074 juta ha. Jadi kebutuhan lahan untuk produksi satu ton minyak kernel = 9,074 juta ha/5,5 juta ton = 1,65 ha/ton atau 0,6 ton/ha.  Jumlah kebutuhan  bahan bakar nabati yang akan dicampur dengan avtur konvensional berdasarkan perkiraan permintaan di masa yang akan datang dan sesuai dengan target Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN GRK) untuk tahun 2016, 2018 dan 2020 berturut-turut adalah 114.144 KL, 211.300 KL dan 260.928 KL. Berat jenis avtur saat ini adalah sekitar 0,8 kg/liter dan untuk menghasilkan 1 Liter avtur sintesis dibutuhkan sebanyak kurang lebih 1,2 Liter minyak kernel. Oleh karena itu, kebutuhan minyak kernel  untuk tahun 2016, 2018 dan 2020 berturut-turut adalah             : 136.973 KL = 109.578 ton, 253.560 KL = 202.848 ton dan 313.114 KL = 250.491 ton.

Berdasarkan analisa kebutuhan lahan untuk produksi minyak kernel sebelumnya, maka perkiraan kebutuhan lahan kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak nabati pada pesawat udara untuk tahun 2016, 2018 dan 2020 berturut-turut adalah : 180.804 ha, 334.699 ha, dan 413.310 ha (masing-masing adalah 2 %, 4 % an 5% dari total lahan kelapa sawit saat ini). Berdasarkan angka tersebut, terlihat bahwa areal perkebunan kelapa sawit yang kita miliki saat ini masih sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nabati pada pesawat udara di masa mendatang. Untuk agribisnis besar dalam rangka produksi bioavtur tentu saja lebih mudah mengelola perkebunan besar swasta dibandingkan milik petani yang tersebar dengan ribuan kepemilikan. Hal ini tentu saja menjadi tantangan besar ke depan jika ingin melibatkan pertanaman milik rakyat dalam mengelola industri bioavtur di Indonesia, sehingga diperlukan sosialisasi dan penyuluhan yang intensif mulai sekarang. Bambang Prastowo