Rabu, 04 Maret 2015

Pertanian Bioindustri : Pokok-pokom Pikiran



­­­POKOK-POPOK PIKIRAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BIOINDUSTRI
Bambang Prastowo

PENDAHULUAN
            Pembangunan pertanian Indonesia memiliki karakter pertanian tropika yang secara alami merupakan kawasan dengan efektivitas dan produktivitas tertinggi di dalam pemanenan dan transformasi energi matahari. Proses budidaya dan bioengineering nabati, hewani dan mikroorganisme dalam menghasilkan berbagai bentuk biomasa pangan dan bioenergi siap pakai untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan landasan bagi berkembangnya sektor-sektor ekonomi lainnya secara berkelanjutan. Pencapaian keunggulan pertanian tropika tersebut dilandaskan pada keunggulan inovasi teknologi dan kelembagaaan dalam mengelola limpahan sumberdaya. Berkaitan dengan hal tersebut pertanian bioindustri diyakini merupakan alternatif visi pembangunan ekonomi nasional ke depan.
            Pertanian bioindustri pada dasarnya merupakan sistem pertanian yang mengelola dan/atau memanfaatan secara optimal seluruh sumberdaya hayati termasuk biomasa dan/atau limbah organik pertanian, bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem secara harmonis. Oleh karenanya, kata kunci dalam pertanian bioindustri meliputi seluruh sumber daya hayati, biomasa dan limbah pertanian, penerapan ilmu pengetahuan dan tekonologi & bio proses termasuk rekayasa genetik. Tidak kalah penting dalam penerapannya ke depan adalah tetap dihasilkannya produk pangan sehat bernilai tinggi sebagai kebutuhan dasar manusia serta produk bio yang sehat bernilai tinggi lainnya.
POKOK-POKOK PIKIRAN DALAM PERTANIAN BIOINDUSTRI
            Terdapat hal-hal yang dapat dijadikan acuan atau pokok-pokok pikiran dalam memahami pertanian bioindustri yang ideal. Pokok-pokok pikiran tersebut adalah :
1.    Pertanian dikembangkan dengan menghasilkan sesedikit mungkin limbah tak bermanfaat
  1. Pertanian dikembangkan dengan menggunakan sesedikit mungkin input produksi dari luar
  2. Pertanian dikembangkan dengan menggunakan sesedikit mungkin energi dari luar
  3. Pertanian dikembangkan seoptimal mungkin agar mampu berperan seain menghasikan produk pangan juga sebagai pengolah biomasa dan limbahnya sendiri menjadi bio-produk baru bernilai tinggi termasuk bioenergi
  4. Pertanian dikembangkan mengikuti kaidah-kaidah pertanian terpadu ramah lingkungan
  5. Pertanian pada akhirnya dikembangkan sebagai kilang biologi (biorefinery) berbasis iptek maju penghasil pangan sehat dan  non pangan bernilai tinggi
Pertanian bioindustri sebenarnya juga berlandaskan kepada pengertian siklus pertanian sebagai penjaga lingkungan alam yang selama ini sudah dipahami masyarakat (Gambar 1). Oleh dalam mengembangkan pertanian hendaknya selalu mengacu kepada siklus tersebut demi menjaga klestarian lingkungan alam.


           Gambar 1. Siklus Pertanian Sebagai Penjaga Lingkungan Alam

PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN BIOINDUSTRI
            Dalam pengembangan kawasan pertanian bioindustri, perlu dipertimbangankan adanya korelasi antara komponen teknologi dari hasil penelitian dengan hasil analisis kebutuhan kawasan serta sinergi antara keduanya (sebagai contoh lihat Gambar 2). Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang seyogyanya dilakukan sebelum menentukan pengembangan kawasan tersebut. Hal-hal tersebut antara lain :
1.    Adanya hasil penelitian komponen teknologi  yang menjadi subsistem bagi pertanian bioindustri untuk kawasan. Hal ini biasanya dapat dilakukan oleh Balai-balai Penelitian ataua lembaga sejenis termasuk Perguruan Tinggi.
2.    Harus diketahui hubungan/relasi antar subsistem. Hal ini biasanya dapat dilakukan oleh Balai-balai Penelitian bersama Balai-balai Pengkajian Teknologi Pertanian
3.    Sebagai contoh kajian dan penentuan kawasan untuk pengembangan kawasan pertanian bioindustri berdasarkan atau mengacu Gambar 2 dan disesuaikan dengan kebutuhan kawasan

                        Gambar 2. Contoh Skema Relasi Antar Komponen dalam
                                          Pertanian Bioindustri Kemiri Sunan (causal loops) 

Oleh karena itu, untuk mengembangkan pertanian bioindustri perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1  1. Penerapan pertanian bioindustri memerlukan kesiapan adanya hasil penelitian komponen    teknologi unggul dan teruji yang dapat diterapkan secara sinergi di lapangan
2  2. Penerapan sistem pertanian bioindustri harus didasarkan pada kaidah ilmiah yang secara    kuantitatif dapat dijelaskan manfaatnya bagi masyarakat dan kelestarian alam untuk saat      ini dan masa yang akan datang
3  3. Aplikasi dilakukan secara bertahap seiring dengan perkembangan iptek serta sesuai
        dengan kondisi geografi sosial ekonomi budaya masyarakat



Selasa, 03 Maret 2015

BAHAN BAKU BIOAVTUR DARI KELAPA SAWIT UNTUK PESAWAT UDARA DI INDONESIA CUKUP MELIMPAH


BAHAN BAKU BIOAVTUR DARI KELAPA SAWIT UNTUK PESAWAT UDARA DI INDONESIA CUKUP MELIMPAH

Bambang Prastowo
Hasil analisis menunjukkan bahwa yang paling optimal sebagai bahan bakar nabati untuk pesawat udara (bioavtur) adalah kernel kelapa sawit dan daging buah kelapa. Potensi lahan untuk kelapa sawit cukup luas yaitu 44,094 juta ha, namun yang sangat sesuai sebenarnya hanya sekitar 18 juta ha, termasuk di dalamnya adalah hutan konversi yang bisa dimanfaatkan yaitu sekitar 13,7 juta ha. Secara sederhana dapat diperhitungkan bahwa perluasan areal masih berpotensi untuk ditingkatkan sampai sekitar dua kali luasan saat ini termasuk produksi kelapa sawitnya.  Ke depan pengembangan bahan bakar nabati untuk pesawat udara dari kelapa sawit tinggal memperhitungkan seberapa porsi produksi yang dikehendaki akan dialokasikan untuk bahan baku bioavtur tersebut.
Berdasarkan komunikasi langsung pelaku bisnis pabrik kelapa sawit, selang produksi produksi CPO cukup lebar, yaitu sekitar 4 – 22 ton/ha/th, sedangkan produksi CPO umumnya sekitar 23 % dari produksi TBS dan kernel atau inti sawit adalah sekitar 5,5%. Berdasarkan data resmi Delegasi Indonesia pada Bilateral Meeting Indonesia Malaysia 2013, produksi CPO Indonesia saat ini sekitar 27,5 juta ton pada luasan 9,074 juta ha, jadi rata-rata hasil CPO adalah 3,03 ton/ha. Jika diperhitungkan hasil TBS Indonesia adalah sekitar 13,2 ton/ha dan kernel hasilnya hanya sekitar 0,73 ton/ha atau minyak kernelnya sekitar 80 % dari berat kernelnya yaitu sekitar 0,6 ton/ha.
Produksi minyak dari kernel kelapa sawit beberapa tahun terakhir ini adalah rata-rata sekitar 20% dari produksi CPO. Produksi CPO saat ini adalah sekitar 27,5 juta ton per tahun, sehingga produksi minyak kernel adalah sekitar 5,5 juta ton per tahun dari luas lahan sawit 9,074 juta ha. Jadi kebutuhan lahan untuk produksi satu ton minyak kernel = 9,074 juta ha/5,5 juta ton = 1,65 ha/ton atau 0,6 ton/ha.  Jumlah kebutuhan  bahan bakar nabati yang akan dicampur dengan avtur konvensional berdasarkan perkiraan permintaan di masa yang akan datang dan sesuai dengan target Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN GRK) untuk tahun 2016, 2018 dan 2020 berturut-turut adalah 114.144 KL, 211.300 KL dan 260.928 KL. Berat jenis avtur saat ini adalah sekitar 0,8 kg/liter dan untuk menghasilkan 1 Liter avtur sintesis dibutuhkan sebanyak kurang lebih 1,2 Liter minyak kernel. Oleh karena itu, kebutuhan minyak kernel  untuk tahun 2016, 2018 dan 2020 berturut-turut adalah             : 136.973 KL = 109.578 ton, 253.560 KL = 202.848 ton dan 313.114 KL = 250.491 ton.

Berdasarkan analisa kebutuhan lahan untuk produksi minyak kernel sebelumnya, maka perkiraan kebutuhan lahan kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak nabati pada pesawat udara untuk tahun 2016, 2018 dan 2020 berturut-turut adalah : 180.804 ha, 334.699 ha, dan 413.310 ha (masing-masing adalah 2 %, 4 % an 5% dari total lahan kelapa sawit saat ini). Berdasarkan angka tersebut, terlihat bahwa areal perkebunan kelapa sawit yang kita miliki saat ini masih sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nabati pada pesawat udara di masa mendatang. Untuk agribisnis besar dalam rangka produksi bioavtur tentu saja lebih mudah mengelola perkebunan besar swasta dibandingkan milik petani yang tersebar dengan ribuan kepemilikan. Hal ini tentu saja menjadi tantangan besar ke depan jika ingin melibatkan pertanaman milik rakyat dalam mengelola industri bioavtur di Indonesia, sehingga diperlukan sosialisasi dan penyuluhan yang intensif mulai sekarang. Bambang Prastowo

sorgum manis untuk bahan bioetanol